Kampung Marunda di Cilincing Jakarta Utara ternyata tidak saja tersohor karena “Kampung Si Pitung”, tokoh legendaris Betawi, ternyata di sana juga terselip sebuah kelenteng yang kabarnya tertua di Batavia (kini Jakarta). Nama kelenteng itu adalah Vihara Latilavistara.
Kelenteng itu terletak di Jalan Krematorium Cilincing, Jakarta Utara. Berada satu kompleks dengan Sekolah Tinggi Agama Buddha “Maha Prajna”. Di sebelah kompleks kelenteng terdapat rumah penitipan abu jenazah. Di belakangnya terdapat pagoda menjulang tujuh tingkat. Pagoda ini tercatat satu-satunya dan tertua di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Dulu pagoda ini dapat dimasuki dan dinaiki pengunjung. Kini hanya bisa dipandang karena bangunan pagoda semakin miring. Guna menjaga keutuhan cagar budaya ini sekaligus keselamatan pengunjung, bangunan pagoda dilarang dimasuki apalagi apalagi dinaiki.
Catatan sejarah menyebutkan, kelenteng ini dibangun persis pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Dulu Kelenteng ini bernama Sam Kuan Tai Tie.
Pada awal abad ke-16 banyak kapal layar Tiongkok singgah di Pulau Jawa. Di antaranya, sebuah kapal yang hendak berlabuh di pantai Cilincing. Pada masa itu, Cilincing merupakan salah satu pelabuhan kecil di utara Pulau Jawa. Kapal tersebut kandas di tempat dangkal.
Berbagai upaya dilakukan awak kapal untuk mengembalikan posisi kapal. Sayang, usaha itu berujung kesia-siaan. Mereka nyaris putus asa sehingga hari-hari panjang yang membosankan diisi dengan hanya menatap deburan pantai serta burung bangau singgah menyantap ikan-ikan kecil di pesisir pantai.
Suatu hari, ketika menyelusuri pantai, awak kapal menemukan sebilah papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie. Mereka tahu bahwa tulisan yang tertera di papan itu merupakan nama kelenteng di daratan Tiongkok. Mereka sepakat membawa papan itu ke kapal.
Tiba di kapal, awak kapal pun menggelar sembahyang sambil berucap janji: bila kapal yang kandas ini bisa lepas maka mereka akan melakukan upacara sembahyang buah. Tengah malam, tiba-tiba air laut menjadi deras. Pelan-pelan posisi kapal berubah. Singkat kata: kapal dapat terapung kembali ke tengah laut.
Sesuai janji, awak kapal pun, esok harinya turun ke darat dan menyandarkan papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie pada sebuah pohon besar tak jauh dari pantai Cilincing. Di sana mereka menggelar sembahyang buah. Selesai ritual itu, awak kapal pun kembali ke kapal dan meneruskan perjalanan balik ke Tiongkok. Papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie ditinggalkan di pohon besar.
Papan Aksara Tiongkok Sempat Hilang
Cerita itu tersebar ke mana-mana. Banyak orang berbondong-bondong untuk melihat papan bertuliskan aksara Tiongkok itu. Di antaranya, ada seorang perajin sepatu. Dia mengaku, doanya terkabulkan setelah mengunjungi papan berhuruf aksara Tiongkok itu. Ia lalu membuat pondok untuk papan tersebut.
Suatu hari tersiar kabar papan itu hilang dari pondok. Masyarakat Cilincing pun gempar. Beberapa tahun kemudian ada sekelompok masyarakat Tionghoa membeli tanah di Cilincing. Mereka pun ternyata mencari papan Sam Kuan Tai Tie. Seorang di antaranya diketahui pria asal Tiongkok bermarga Oey.
Usaha pencarian terus dilakukan. Tanpa disengaja, salah seorang bermarga Oey menemukan sosok tubuh pria terkapar di pekarangan dekat sebuah rumah yang agak terpencil di wilayah Cilincing. Tak jauh dari lokasi tanpa sengaja ditemukan papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie yang mereka cari. Papan masih dalam keadaan utuh, terletak di atas onggokan abu bekas api unggun.
Ternyata pria yang terkapar itu adalah seorang perampok. Dia berniat merampok. Untuk maksud itu, ia menemui papan Sam Kuan Tai Tie. Alhasil, dia malah kena petaka. Pria itu marah besar dan akan membakar papan itu. Yang terjadi malah sebaliknya: dia mati dengan tubuh lunglai tanpa daya.
Sejak kejadian itu, masyarakat Tionghoa bermarga Oey sepakat guna merawat serta menjaga papan bertuliskan aksara Tiongkok itu. Di atas tempat papan Sam Kuan Tai Tie lalu didirikan sebuah kelenteng kecil. Itulah kelenteng tertua di Batavia. Kelenteng ini kini dilindungi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai cagar budaya sehingga harus dijaga kelestariannya.
Sumber: www.sinarharapan.co/metropolitan/read/32348/mengintip_latilavistara__kelenteng_tertua_di_batavia